SURABAYA - Kegelisahan sekitar 250 Guru Tidak Tetap (GTT) di Surabaya
yang selama ini gaji mereka jauh di bawah Upah Minimum Kota UMK) bisa
bernapas lega. Pasalnya, keresahan yang telah diungkapkan sejak 2012
lalu, bakal direspon positif oleh jajaran Pemerintahan Kota (Pemkot)
Surabaya.
“Kami harapkan seperti itu. Masak GTT yang tugasnya
membuat anak-anak Surabaya menjadi pintar, gajinya di bawah UMK
Surabaya. Ini jelas tidak adil. Karena itu kami akan terus
memperjuangkannya,” ungkap Baktiono, Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Jumat
(8/3).
Menurutnya, hearing Komisi D DPRD Surabaya bersama
Dinas Pendidikan (Dispendik), Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan para
GTT menghasilkan kesepakatan itu, yakni mereka digaji sesuai UMK, saat
ini UMK Surabaya Rp 1.740.000.
Keputusan tersebut sesuai
dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2012 tentang
kesejahteraan guru. Sejalan dengan itu Dispendik akan berkoordinasi
dengan sejumlah sekolah di Surabaya.
Koordinasi diperlukan,
kata Baktiono, karena sistem penggajian guru akan dilihat dari banyaknya
jam mengajar yang telah ditempuh dalam satu minggu. Sementara
keberadaan jam mengajar mereka belakangan tergeser dengan guru Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Mengingat, guru PNS dikejar tayang oleh syarat
sertifikasi guru.
Baktiono mengaku akan terus mengawal
kesepakatan dengan pemerintah Kota Tersebut. Apalagi, secara teknis
anggaran bantuan Operasional Daerah (Bopda) bagi setiap sekolah masih
kurang mencukupi, sehingga alokasinya diambilkan dari dana Dispendik.
Masduki
Toha, Anggota Komisi D menambahkan, selain gaji GTT belum sama dengan
UMK, kini banyak GTT yang dilengser alias dipecat perlahan-lahan. Di
antaranya dengan tidak memberikan jam mengajar kepda GTT yang
bersangkutan. Padahal, sesuai dengan ketentuannya seorang GGT yang
digaji APBD minimal harus mengajar selama 24 jam per minggu.
Kondisi
ini membuat para GTT di Pemkot Surabaya yang sudah masuk database dan
menunggu pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pusing tujuh
keliling. Mereka sering mengadu ke DPRD Surabaya agar mereka tidak
dilengser begitu saja. “Pengaduan GTT Pemkot ke kami seperti itu,”
ungkapnya.
Menurutnya, para GTT yang sudah masuk ke database
Pemkot dan menunggu pengakatan sebagai PNS lebih dari 100 orang. Bila
mereka tidak diberi jam mengajar atau diberi jam mengajar kurang dari 24
jam per minggu sudah tentu mereka terancam akan dipecat, karena tidak
memenuhi kuota jam ajar. “Kan itu sama saja para GTT itu dipecat
pelan-pelan dengan dicarikan alasan yang tepat untuk memecat mereka,”
tambah politisi PKB tersebut.
Kondisi seperti ini, lanjutnya, sudah tentu sangat ironis. Pasalnya, belakangan Pemkot butuh guru banyak.
Bahkan,
guru yang dibutuhkan mencapai ribuan, alasannya setiap tahun banyak
guru yang pensiun. Dari sekitar 800 PNS Pemkot yang pensiun setiap
tahunnya sekitar 25%-nya dari tenaga guru. Itu artinya ada sekitar 200
guru yang pensiun pert tahun.
Di sisi lain Pemerintah Pusat
belum memberikan jatah penerimaan PNS baru di bagi Surabaya dan seluruh
daerah di Indonesia. “Aneh kan, di satu sisi banyak guru yang pensiun,
tapi banyak GTT tidak diberikan jam mengajar,” terangnya.
Kalau
kondisi demikian terus dipertahankan Pemkot Surabaya, maka prestasi
peserta didik di kota ini bakal tidak akan lebih baik darik daerah lain.
Pasalnya, akan banyak guru yang berstatus PNS yang kelebihan jam
mengajar, sehingga fisik dan pikiran mereka cepat lelah. Akibatnya,
dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru tidak maksimal.
Sementara
M Ikhsan, Kepala Dispendi Pemkot Surabaya mengatakan, dirinya akan
mengatur jam mengajar guru tidak tetap di setiap sekolah agar terpukul
rata setiap guru mendapat jam belajar-mengajar 24 jam penuh. Kendala
selama ini adalah setiap sekolah tidak dapat memberikan 24 jam bagi GTT,
karena itu dirinya akan berkoordinasi dengan seluruh sekolah di
Surabaya.
Sementara Ketua Forum GTT Surabaya, Eko Mardiono
mengaku siap mendukung keputusan teknis Pemkot dan DPRD Surabaya dan
akan mengawal hingga teknis penggajian guru tidak tetap sesuai
kesepakatan dalam hearing terealisasi. Sebab, gaji GTT sebelumnya cukup
memprihatinkan, yakni rata-rata di bawah Rp 1 juta.
Source:www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=f65232b6f6641966d743ea5a0dc44afe&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c