Jakarta, Seru.com - Selebrasi Hari Guru Ke-66
Jumat, 25 November
besok diprediksi bakal diwarnai suasana tegang. Pasalnya, penyaluran
tunjangan profesi pendidik (TPP) bagi guru tidak tetap (GTT) atau guru
honorer akan dihentikan. Selain itu, bagi guru yang terbukti ”nakal”
saat sertifikasi, TPP-nya terancam harus dikembalikan ke kas negara.
Ancaman keras tersebut
tertuang dalam surat edaran yang diteken Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Na’im. Surat
edaran tersebut juga ditembuskan kepada menteri hingga jajaran eselon I
lingkungan kementerian berslogan Tut Wuri Handayani itu.
Ada
beberapa poin penting dalam surat edaran bernomor 088209/A.C5/KP/2011
tersebut. Poin pertama ditujukan kepada GTT atau guru honorer yang SK
pengangkatannya tidak ditandatangani pejabat berwenang dan gajinya tidak
diambilkan dari APBD atau APBN. Guru honorer yang digaji non APBD atau
APBN itu lazim disebut guru honorer kategori II. Dalam surat edaran
tersebut, guru honorer kategori II tidak bisa disertifikasi.
Ketentuan
serupa ditujukan kepada GTT atau guru honorer di sekolah swasta yang SK
pengangkatannya tidak berasal dari yayasan. Menurut Ketua Umum Pengurus
Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo di Jakarta
kemarin, ada beberapa guru honorer di sekolah swasta yang mengantongi SK
dari kepala sekolah. ”SK-nya bukan dari ketua yayasan,” kata Sulistyo.
Menurut
surat edaran dari Sekjen Kemendikbud itu, jika ditemukan guru honorer
kategori II atau guru honorer di sekolah swasta dengan SK pengangkatan
bukan dari yayasan yang tetap lolos sertifikasi, TPP-nya tidak
dibayarkan.
Dalam surat itu, kepala dinas pendidikan
kabupaten dan kota diimbau memverifikasi dengan benar daftar calon
penerima tunjangan sertifikasi. Jangan sampai tunjangan tersebut
dikucurkan untuk dua kategori guru honorer itu.
Dalam
surat tersebut pula, aturan sertifikasi seperti yang tertuang di pasal
63 ayat 5 PP No 74 Tahun 2008 tentang Guru harus benar-benar ditegakkan.
Salah satunya, Kemendikbud mengancam memberhentikan atau memecat guru
yang terbukti memperoleh sertifikat dengan cara melawan hukum.
Konsekuensi
dari pemecatan itu, guru yang bersangkutan harus mengembalikan seluruh
TPP yang sudah diterima. Khusus ancaman kedisiplinan dalam memperoleh
sertifikat tersebut berlaku untuk guru honorer maupun guru PNS.
Kemendikbud juga akan memberikan surat teguran kepada dinas pendidikan
kabupaten, kota, hingga provinsi jika ditemukan praktik melanggar hukum
dalam penetapan sertifikasi guru.
Lebih lanjut, Sulistyo
mengatakan bahwa surat edaran itu benar-benar menakutkan bagi guru
honorer yang penghasilannya tidak diambilkan dari APBN atau APBD. ”Jika
ada yang sudah dinyatakan lolos (sertifikasi guru), terus tunjangannya
ditarik, kan kasihan,” ucap dia. Meskipun begitu, dia mengakui,
dalam aturan memang guru honorer yang berhak atas kucuran TPP hanyalah
yang mendapat penghasilan dari APBN dan APBD.
”Pertanyaannya
sekarang, kenapa mereka bisa sampai lolos sertifikasi. Berarti, dalam
sistemnya ada lubang,” ujar pria yang juga menjadi anggota DPD dari
Provinsi Jawa Tengah itu.
Sulistyo menegaskan, soal
lolosnya guru honorer kategori II dalam program sertifikasi tersebut,
tidak bisa semata-mata guru yang disalahkan. Dia juga meminta panitia
sertifikasi guru, mulai dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi,
hingga perguruan tinggi, harus dievaluasi, kenapa ada guru yang
seharusnya tidak lolos sertifikasi kok diloloskan. Evaluasi juga
harus dilakukan terhadap perwakilan Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP)
Kemendikbud di tingkat provinsi hingga pusat.
Selain itu,
ancaman pengembalian uang TPP diperuntukkan guru yang terbukti melanggar
hukum saat mendaftar sertifikasi. Pelanggaran tersebut, antara lain,
memalsukan ijazah atau menyuap pejabat dinas pendidikan. Sulistyo
meminta bukan hanya guru yang disalahkan. Pejabat dinas pendidikan yang
meloloskan ijazah palsu atau penerima suap untuk keperluan itu juga
harus ditindak tegas.
”Logikanya, jika prosesnya sudah salah, kok
hanya gurunya yang disalahkan,” tegas Sulistyo. Dia tidak ingin kasus
tersebut terulang pada sertifikasi tahun depan. Dia mengakui, akibat
keluarnya surat itu, muncul keresahan di beberapa kota.