Di materi RUU revisi pemda itu diatur secara tegas pemberian sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan bagi kepala daerah yang ngawur melakukan pengangkatan pegawai honorer dimaksud. Ada dua ayat yang secara khusus mengatur sanksi. Satu pasal memberikan sanksi administrasi berupa pemberhentian sementara. Satu pasal lagi, menyangkut tindak pidananya.
Yakni Pasal 110 ayat (3), yang bunyinya, "Kepala daerah yang mengangkat pegawai honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan."
Selanjutnya, di pasal Pasal 273 RUU revisi UU pemda, bunyinya, " Kepala daerah yang mengangkat pegawai honorer yang pengadaannya tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Menanggapi materi RUU tersebut, anggota Komisi II DPR Chotibul Umam Wiranu, menyatakan setuju. Hanya saja, secara resmi bagaimana sikap Komisi II DPR, baru terlihat nantinya saat pembahasan RUU itu.
Politisi dari Partai Demokrat itu membantah jika dianggap pasal sanksi itu bentuk kembalinya sentralisasi. Menurutnya, aturan itu sejalan dengan semangat di UU Aparatur Sipil Negara (ASN), yang saat ini juga sedang dibahas. Yakni urusan kepegawaian dikendalikan pusat, bukan lagi oleh pemda lewat tangan kepala daerahnya.
"Nah, semangatnya itu sekarang di dalam UU ASN, menarik kembali kebijakan pengangkatan PNS secara nasional ke pemerintah pusat. Selama ini pemda dikasih kewenangan itu," ujar Chotibul.
Dikatakan, sebenarnya di UU Nomor 32 tahun 2004, pemerintah pusat sudah punya kewenangan memberikan sanksi ke kepala daerah. Hanya saja, tidak efektif.
"Itu sudah ada aturannya, kalo ada pelanggaran dikasih sanksi. Memang ada sanksi, cuma mendagri gak berani eksekusi," ujarnya.
Seperti diberitakan, proses pengangkatan tenaga honorer Kategori 1/K1 (digaji APBN/APBD) semakin seru. Setelah beberapa nama honorer dipublikasikan, mulai bermunculan laporan nama honorer K1 siluman atau yang diduga palsu di sejumlah daerah.
Wakil Menteri Pendagayugaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PAN-RB) Eko Prasojo di Jakarta, Selasa (3/4) mengatakan, munculnya laporan tenaga honorer K1 siluman ini menunjukan fungsi pengawasan masyarakat berjalan. Ketentuan untuk publikasi nama-nama honorer K1 memang dilakukan untuk uji publik.
"Tidak apa-apa ada laporan honorer K1 yang diduga siluman. Semua nanti akan diproses dan dibersihkan," katanya.
Guru besar Universitas Indonesia itu menyebutkan, banyak dugaan motivasi dibalik munculnya nama-nama siluman ini. Di antaranya ada pengaruh kepentingan ekonomi seperti penyuapan dan sebagainya.
Dugaan ini muncul setelah ada laporan yang masuk bahwa untuk bisa lolos pemberkasan menjadi honorer K1, seorang tenaga honorer harus memberikan uang suap antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Dengan uang sogokan tadi, tenaga honorer yang sejatinya tidak memenuhi persayaratan administrasi bisa lolos menjadi honorer K1.
Selain itu, Eko menduga adanya nama-nama honorer K1 yang disebut siluman itu muncul karena adanya pengaruh politik. Misalnya, karena berhasil ikut menjadi tim sukses kepala daerah, tenaga honorer yang baru bekerja bisa dipaksanakan masuk honorer K1. Padahal, ketentuan tenaga honorer K1 adalah yaitu sudah bekerja minimal satu tahun per 1 Desember 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar