Jam mengajar GTT dikurangi, sehingga tidak penuhi kuota 24 jam per minggu
SURABAYA
- Nasib Guru Tidak Tetap (GTT) Surabaya semakin mengenaskan. Selain
gajinya belum sama dengan Upah Minimum Kota (UMK), kini banyak GTT yang
dilengser alias dipecat perlahan-lahan. Di antaranya dengan tidak
memberikan jam mengajar kepda GTT yang bersangkutan. Padahal, sesuai
dengan ketentuannya seorang GGT yang digaji APBD minimal harus mengajar
selama 24 jam per minggu.
Kondisi ini membuat para GTT di
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang sudah masuk database dan menunggu
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pusing tujuh keliling.
Mereka, kini mengadu ke DPRD Surabaya agar mereka tidak dilengser begitu
saja.
“Pengaduan GTT Pemkot ke kami seperti itu. Rencananya,
besok semua GTT akan kami ajak hearing bersama dengan Dinas Pendidikan
(Dispendik) dan sejumlah kepala sekolah yang membawahi GTT,” ungkap
Baktiono, Ketua Komisi D (pendidikan dan kesra) DPRD Surabaya, Senin
(11/2).
Menurutnya, para GTT yang sudah masuk ke database
Pemkot dan menunggu pengakatan sebagai PNS lebih dari 100 orang. Bila
mereka tidak diberi jam mengajar atau diberi jam mengajar kurang dari 24
jam per minggu sudah tentu mereka terancam akan dipecat, karena tidak
memenuhi kuota jam ajar. “Kalau begini namanya kan sama saja para GTT
itu dipecat pelan-pelan dengan dicarikan alasan yang tepat untuk memecat
mereka, tambah politisi PDIP tersebut.
Kondisi seperti ini, lanjutnya, sudah tentu sangat ironis. Pasalnya, belakangan Pemkot buruh guru banyak.
Bahkan,
guru yang dibutuhkan mencapai ribuan, alasannya setiap tahun banyak
guru yang pensiun. Dari sekitar 800 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemkot
yang pensiun setiap tahunnya sekitar 25%-nya dari tenaga guru. Itu
artinya ada sekitar 200 guru yang pensiun pert tahun.
Di sisi
lain pemerintah pusat belum memberikan jatah penerimaan PNS baru di bagi
Surabaya dan seluruh daerah di Indonesia. “Aneh kan, di satu sisi
banyak guru yang pensiun, tapi banyak GTT tidak diberikan jam mengajar,”
terangnya.
Kalau kondisi demikian terus dipertahankan Pemkot
Surabaya, maka prestasi peserta didik di kota ini bakal tidak akan lebih
baik dari daerah lain. Pasalnya, akan banyak guru yang berstatus PNS
yang kelebihan jam mengajar, sehingga fisik dan pikiran mereka cepat
lelah. Akibatnya, dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru tidak
maksimal.
Di sisi lain, sampai saat ini banyak GTT baik di
sekolah negeri maupun swasta yang gajinya masih dihitung berdasarkan jam
kerja, bukan disamakan dengan UMK. Padahal dewan sudah berupaya
menyetarakan hal itu.
Terkait masih banyaknya GTT yang
menerima bayaran di bawah UMK, katanya, seharusnya pihak Dinas
Pendidikan (Dispendik) Kota yang berhak bertanggung jawab. Karena sesuai
dengan perda penyelenggaraan pendidikan yang sudah disahkan beberap
waktu yang lalu, soal gaji GTT juga telah disebutkan dengan jelas. “Ini
kan aneh, Perda-nya sudah disahkan beberapa waktu yang lalu, ternyata di
lapangan masih ada yang tidak sesuai,” sesalnya.
Baktiono
menjelaskan, sebenarnya setelah Perda penyelenggaraan digedok kendali
sepenuhnya berada di Dinas Pendidikan. Karena, Dispendik harus menindak
lanjuti dengan melakukan sosialisasi terhadap seluruh sekolah negeri
yang ada di Surabaya.
“Banyaknya kepala sekolah yang tidak
paham tentang gaji GTT. Ini kan mengindikasikan Dispendik kota sangat
kurang dalam melakukan sosialisasi terhadap unit pelaksana teknis daerah
(UPTD),” terangnya.
Apalagi, tambahnya, alokasi anggaran
untuk gaji bagi guru tidak tetap yang mengajar di sekolah negeri itu
sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Surabaya Tahun 2013.
Sebelumnya, Kepala Dsipendik
Surabaya M Iksan Dispendik mengaku sudah membahas masalah ini, namun
menurutnya ketentuannya memang seperti itu. “Itu memang sudah sesuai
aturan,” tandasnya.
Source : www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=50c5829a90427e05c8aa081963ea3d97&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c