Menurut Syamsul, pungutan K2 jauh hari sudah disampaikan oleh BKD kepada pimpinan UPTD di semua kecamatan, baik itu UPTD pendidikan, UPTD pertanian dan lainnya. Termasuk kepada dinas, badan dan kantor di jajaran Pemkab Sigi. UPTD dan SKPD-SKPD menurut dia, telah disampaikan agar memfasilitasi dan menyampaikan kepada honorer K2 bahwa BKD Sigi tidak punya biaya untuk verifikasi, sehingga perlu ada dana kontribusi dari honorer K2.
”Kami hanya meminta partisipasi dari UPTD, dinas, badan dan kantor. Tolong kami difasilitasi, karena kami tidak punya anggaran untuk verifikasi berkas honorer K2 di DPA,” jelas Syamsul di kantornya, kemarin (2/5).
Karena tidak ada biaya itulah, sehingga BKD mengharapkan partisipasi dari para honorer K2. Syamsul mengatakan, pungutan itu sebenarnya tidak dipaksakan kepada para honorer.
“Dan pungutan itu sifatnya tergantung keikhlasan. Ada yang memberi Rp100 ribu, ada pula yang tidak memberi sama sekali. Ada yang bahkan hanya menyumbang Rp5 ribu, Rp10 ribu. Tidak seperti isu yang beredar selama ini, kami telah mengumpulkan uang hingga ratusan juta dari pungutan K2. Itu tidak benar adanya. Jangan memfitnah,” ujar Syamsul.
Kata dia, BKD tidak mematok berapa nominal yang diberikan oleh honorer bersangkutan. Meskipun pada dasarnya disebut ada biaya Rp100 ribu. Dan rasionalnya, biaya tersebut lebih ringan ketimbang honorer harus bolak-balik sendiri mengurus berkasnya, dari tempat tinggal mereka ke BKD.
“Namanya keikhlasan tidak ada ketentuannya. Bagi yang ikhlas saja kami terima pemberiannya. Kalau yang tidak mampu, tidak kami paksakan. Karena kami tidak punya dana untuk verifikasi K2 di kantor. Justru dengan adanya partisipasi itu meringankan honorer,” tekannya.
Estimasi biaya pengurusan berkas honorer K2 yang dibutuhkan BKD, Menurut Syamsul mencapai Rp500 juta lebih. Dari biaya yang dibutuhkan itu, secara garis besar digunakan untuk honor panitia sebanyak 70 orang, pengadaan laptop, mesin cetak foto kopi, sewa tempat dan biaya transportasi panitia.
“Pungutan tersebut gunanya untuk biaya pengadaan foto kopi berkas mereka. 70 orang panitia yang diberi makan setiap hari, sewa tempat, transportasi. Uang dimana mau diambil kalau kita lakukan verifikasi” kata Syamsul menjelaskan.
“Panitia bukan robot. 70 orang dibiayai dengan apa jika mereka bekerja. Kerjanya siang hari malam memverifikasi berkas. Pagi ini kerja, besok pagi berhenti. Orang tidak tidur. Uang dari mana mau diambil. Saya kira kita harus bijak dengan hal ini. Lagipula biaya partisipasi tidak dipaksakan,” tambahnya.
Syamsul juga mengatakan, pada prinsipnya BKD sangat terbuka jika ada kendala dari honorer. Honorer yang memberi silakan, tidak ada juga tidak masalah. Yang penting, jangan dipersoalkan di luar, apalagi sampai dipersoalkan sama orang yang justru tidak ada kaitannya dengan honorer.
“Kita di BKD terbuka. Kalau mereka mau memberi silakan, tidak memberi silakan. Justru masalah inilah saya dikirim SMS anggota dewan. Kata anggota dewan ada yang orang keberatan. Saya bilang, catat namanya siapa yang keberatan. Jangan yang tidak ada kaitannya dengan honorer K2 justru yang keberatan, sementara yang bersangkutan tidak keberatan. Untuk apa kira-kira yang memberi atau tidak memberi, tidak keberatan. Di Sigi ini terlalu banyak orang gila urusan. Kapan daerah mau maju kalu begini,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar