Di sekolah itu, hanya ada dua bangunan yang digunakan untuk belajar. Satu kelas dengan ukuran sekitar 7 meter x 6 meter untuk empat kelas dan satu ruang ukuran sekitar 2,5 meter x 3 meter untuk dua kelas. Ada sekitar 50 siswa yang belajar dari kelas 1 sampai kelas 6 dengan jumlah guru sebanyak 6. 2 guru PNS dan sisanya guru GTT yang diminta membantu mengajar di sekolah kategori kecil itu. Jika ada try out kelas 6, tiga kelas praktis harus belajar di ruang kelas dengan menggelar alas.
Dua guru GTT intens mengajar di SDN Tumpakrejo 10, Vinis Estianingsih dan Lailatul Ulfa. Dua lainnya, mengajar juga di sekolah lain. Karena intensitas mengajarnya tidak full dalam satu minggu.
Vinis Estianingsih, salah satu guru GTT yang paling lama mengajar di SDN terpencil itu. Lokasi rumahnya berjarak 2 kilometer dari sekolahnya. Meski hanya 2 kilometer, tapi medan yang harus dilaluinya sangat berat dengan sepeda motor yang dikendarainya. Jalan rusak dengan batuan yang terjal. Hal itu sudah dilakoninya sejak tahun 2005 lalu hingga saat ini.
Meski harus melalui medan berat, Vinis tetap semangat untuk terus menggodok anak-anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas. Mereka butuh terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismennya serta terus digelorakan semangatnya menghadapi tugasnya di daerah terpencil.
Bahkan, Vinis pernah terjatuh dari sepedanya karena jalan yang licin setelah hujan. Kakinya sempat terkilir dan seragamnya basah karena terkena lumpur. Dengan seragam yang basah dipenuhi lumpur, Vinis tetap berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah, dia sempat nangis melihat siswanya yang menunggu di sekolah untuk diajar. Mengetahui kondisi gurunya yang berlumuran lumpur, para siswanya berusaha membantu sang guru tercintanya. Mereka ikut membersihkan Lumpur yang ada di pakaian Vinis dengan memandikan bersama. Saking terharunya, Vinis beruraian air mata.
“Saya sempat dimandikan anak-anak. Itu yang membuat saya terharu. Mereka perhatian terhadap gurunya. Ini yang membuat saya tetap berjuang di sekolah terpencil ini,” ujar Vinis sambil menitikan air matanya.
Perjuangan yang dilakukannya tidak setara dengan apa yang diterimanya. Setiap bulannya dengan jadwal mengajar mulai senin sampai Sabtu, Vinis hanya mendapatkan bayaran Rp 100 ribu per bulan. Itupun diberikan tiga bulan sekali yang diambilkan dari dana BOS.
“Mereka itu tidak dibayar. Karena hanya Rp 100 ribu per bulan. Mereka itu guru-guru yang benar-benar mengabdi dan berjuang untuk generasi mendatang,” ujar Kepala SDN Tumpakrejo 10, Sariyem Binti Yahya.
Hal yang sama juga dilakoni, Lailatul Ulfa. Guru GTT yang sudah mengajar selama delapan bulan tergerak hatinya untuk membantu mengajar di SDN Tumpakrejo 10 itu. Mahasiswa salah satu PTS di Kota Malang itu mengabdikan dirinya dengan mengajar di SDN terpencil. Alasannya, dia trenyuh melihat semangat anak-anak desa untuk belajar. Lokasi rumah dengan sekolahnya sekitar 4 kilometer dengan medan yang sangat berat.
“Kami semua terharu dengan semangat anak-anak belajar. Awalnya, di SDN ini kekurangan guru untuk mengajar anak-anak,” terang Ulfa.
Kepastian dan kem`ntapan hidup guru daerah terpencil perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh dengan patokan standar hidup yang layak di daerah terpencil. Kesejahteran guru, tidak hanya PNS, non PNS (honorer dan swasta) pun perlu mendapat perhatian, sehingga tidak hanya alasan pengabdian saja, keberuntungan pun mereka dapatkan dari tujuan mereka hidup yang hakiki.
1 komentar:
Halo, mas aditya. Bisakah saya mendapatkan no telfon ibu guru vinis dan ibu guru ulfa? Atau siapapun kontak person yg bisa saya hubungi di SD Negeri Tumpakrejo 10 itu. Terima kasih.salam. Eka
Posting Komentar